Rumit (Naguib Mahfouz)


Pagi itu, dokter telah selesai memeriksa pasien kelima. Kemudian masuk pasien keenam, seorang ibu bertubuh semampai dan bercadar. Parasnya cantik. Tapi terselip guratan penderitaan yang mendalam di wajahnya, bak mawar putih berlepotan debu jalanan.

“Tolong, Pak Dokter!” teriaknya segera.

Dokter menghampiri. Tenang sedikit tersenyum.

“Ada apa, Bu?” tanya dokter.

Keduanya duduk berhadapan. Dengan malu dan hati-hati perempuan itu menceritakan penyakit kronisnya. Tanpa menunggu kedatangan suaminya dari kantor. Dokter terperanjat mendengar ceritanya. Dokter mencermati apa yang diceritakan dengan kondisi sebenarnya.

Dokter segera memeriksa. Rupanya keraguan dokter terbukti.

“Gawat, Bu! Ibu mengidap penyakit berbahaya. Penyakit kelamin!” gusar dokter.

Perempuan itu tersentak seketika. Matanya berkaca-kaca. Takut dan gelisah. Derita yang dialaminya berubah menjadi ketakutan baru.

“Penyakit kelamin… ?” katanya seolah tak percaya.

”Ya. Yang saya katakan benar, Bu. Tenangkan diri. Kendalikan emosi, agar kesedihan ini tak menambah kesedihan lain. Saya ingin tanya, apakah ibu sudah bersuami?”

Perempuan itu menganggukkan kepala. Tapi tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.

“Oh…. Nafsu benar-benar membutakan kaum lelaki. Tak terkecuali mereka yang sudah berkeluarga. Bagaimanapun juga ibu harus memberitahukan keadaan sebenarnya pada suami. Dia harus menjaga ibu dari risiko pergaulan bebasnya. Ibu harus mengingatkan perbuatan terlarang itu. Kalau perlu dibawa serta ke mari. Kalau tidak, pengobatan penyakit ibu akan sia-sia,” lanjut dokter.

Teriakan parau muntah dari bibir perempuan itu.

“Tidak…! Tidak…! Tidak mungkin…! Cepat obati saya, Dokter! Jangan libatkan suami saya!” rengek perempuan itu.

“Tapi….”

“Demi Tuhan, jangan, Dok! Suami saya tak boleh tahu masalah ini. Lakukan saja tugasmu. Tentu masalah ini akan selesai.”

Dokter gelisah menatap wajah kusut perempuan itu. Jiwanya seakan lebih menderita dibanding rasa sakit di tubuhnya. Kepedihan, kecemasan, rasa bersalah bersemayam dalam dirinya.

Keresahan mencengkeram jiwa dokter. Dadanya sesak.

“Mengapa aku mencampuri urusan dan penderitaan orang lain? Aku hanya seorang dokter. Tak pantas melampaui batas kewenanganku. Aku harus mengobati perempuan lemah ini. Ah… Sudahlah! Semuanya kuserahkan pada Tuhan,” batin dokter.

Tekad itu menjadikan jiwa dokter sedikit tenang. Dokter langsung bekerja. Mendadak pikirannya menerawang pada nasib keluarga perempuan itu. Akhirnya ia mengambil jalan tengah.

“Sebaiknya Ibu memberitahukan pada suami Ibu. Bahwa ia dalam bahaya besar. Sepandai-pandainya Ibu memendam rahasia ini, toh akhirnya akan ketahuan juga,” saran dokter.

Bola mata perempuan itu bergerak-gerak bagai air raksa.

“Butuh berapa lama untuk menyembuhkan penyakit ini, Dok?” tanyanya.

“Kurang lebih dua mingguan, itu harus intens.”

“Oh…. Mati aku!!”

“Tentunya suami ibu juga terjangkit.”

“Kalau begitu sementara ini saya tidak akan melakukan hubungan seksual. Kami akan menghindarinya sampai saya benar-benar sembuh.”

“Meski sudah terlambat?”

“Yah …saya tak punya pilihan lain, Dok. Suami saya orang baik-baik. Sulit rasanya meyakinkan dia supaya menerima kenyataan pahit ini. Sudahlah, semua ini terserah Tuhan. Barangkali Dia akan melindungi suami saya. Mudah-mudahan Tuhan memberi jalan keluar pada keluarga kami.”

“Suasana hening mencekam. Tiba-tiba perempuan itu teringat sesuatu. Dengan memelas, ditatapnya dokter itu.

“Bisakah Dokter menjaga rahasia ini?” tanyanya.

“Tentu. Tentu. Tenang saja! Kujamin rahasia ini tak kan terbongkar selamanya.”

Lalu perempuan itu menghela nafas.

“Saya rasa cukup sampai di sini dulu, Dok. Saya usahakan tiap hari datang ke sini. Selain Jumat. Akan kuusahakan semampu saya,” ucapnya dengan hati yang terluka.

Pekerjaan dokter telah selesai. Ketika perempuan itu beranjak keluar, dokter menghentikan langkahnya.

“Siapa nama Ibu?” tanya dokter.

Wajah perempuan itu tampak ketakutan.

“Untuk apa?” tanyanya.

“Tak perlu takut, tak perlu sedih. Ini hanya formalitas belaka. Coba Ibu lihat daftar ini! Bukankah penuh dengan nama dan alamat pasien? Jangan takut, saya hanya seorang dokter,” hibur dokter.

“Ibu Muhammad Abbas Efendi, pegawai DPU,” jawabnya sembari menarik nafas.

***

Esoknya, perempuan itu datang. Ia katakan bahwa kondisi suaminya sehat-sehat saja.

Menjelang petang, datang pasien berumur 30 tahunan. Badannya tinggi tegap. Raut mukanya tampak cerdas dan berani.

“Selamat sore,” sambut dokter.

“Sore,” jawab lelaki itu.

Lelaki itu tertawa. Menampakkan keceriaan di balik kegelisahan yang menyelimuti dirinya.

“Saya mengidap penyakit, Dok,” katanya.

“Penyakit apa?”

“Penyakit yang banyak dikeluhkan orang.”

“Oh…kasihan sekali.”

“Saya benar-benar menyesal, Dok.”

“Menyesal?”

“Menyesal. Apa Dokter merasa rugi bila ada orang insaf datang padamu? Apa pasienmu akan berkurang?”

“Kukira Saudara datang ke sini bukan untuk berfilsafat. Silahkan ke kamar itu! Tunggu sebentar. Tolong sebutkan nama Saudara!”

“Muhammad Abbas, mulut dokter hampir mengeluarkan kata ‘Hah’. Dokter segera melihat dengan seksama daftar nama-nama. Mendadak jiwanya bergejolak, begitu tahu bahwa dialah orang yang terancam bahaya besar itu. Giginya geregetan. Kepalanya tertunduk hampir menyentuh lembaran daftar nama yang ada di depannya. Dokter menyembunyikan wajahnya.

Tatkala dokter hendak melangkah menuju kamar praktek, Abbas merengek.

“Dok, saya khawatir penyakit ini akan berakibat buruk.”

Dokter menerawang. Lantas bertanya, “Memangnya kenapa?”

“Saya sudah berkeluarga, dokter. Sekarang dokter tahu bahwa bukan hanya bujangan yang bisa terperosok dalam dosa,” jelas Abbas.

“Tahukan Saudara? Istri Saudara juga terancam!”

“Ya. Saya benar-benar terjepit. Saya sangat sedih begitu tahu istri tercinta saya juga mengalami hal yang sama. Apa yang harus saya perbuat, Dok?”

Kini rahasia itu telah terbongkar. Sepasang suami-istri itu ternyata pendosa. Mereka menyesali diri.

Dokter hampir saja terlena oleh pikirannya, kalau tak mendengar pertanyaan Abbas.

“Saya harus bagaimana, Dok?” tanya Abbas berulang-ulang.

“Tenang saja. Saudara akan dapat menyelesaikannya dengan baik. Usahakan ajak istri Saudara ke sini. Jangan sampai dia curiga.”

Abbas bingung.

“Saya usahakan, Dok,” jawabnya lemah.

Kemudian Abbas melangkahkan kakinya. Pergi.

“Mudah-mudahan Tuhan memberi jalan kebaikan bagi istrinya, hingga persoalan ini selesai. Semoga Abbas berhasil membawa istrinya ke mari. Akan kuterangkan ihwal penyakit yang diderita istrinya. Akan kuyakinkan padanya bahwa perempuan itu adalah korbannya. Lantas keduanya akan kuobati sampai sembuh. Dengan demikian lelaki itu mau kembali pada istrinya dengan penuh penyesalan. Abbas tak tahu bahwa perempuan itu lebih menderita dibanding dirinya,” kata dokter dalam hati.

***

Perempuan itu tak datang pada hari yang telah dijanjikan. Dokter mengira sore ini, ia akan datang bersama Abbas. Tapi yang datang ternyata hanya Abbas. Abbas dirundung ketakutan. Wajahnya pucat. Tatapan matanya layu. Seolah tampak lebih tua dari biasanya.

“Ada apa?” tanya dokter terperangah.

Abbas menggelangkan kepalanya. Sedih.

“Menurut Dokter apa?” baliknya.

“Kukira Saudara mengajak istri Saudara. Mana?”

“Yah….bagaimana lagi, Dok?”

“Emm…sebenarnya persoalan Saudara sudah beres. Tapi sayang, Saudara tidak bisa meyakinkannya. Ya….beginilah jadinya!”

Abbas diam sejenak. Kemudian berbicara dengan terbata-bata karena putus asa.

“Oh…hidup di dunia memang susah.”

Dokter membungkukkan bahunya.

“Saya sudah sering kali mendengar keluhan-keluhan seperti itu. Saya yakin menusianyalah yang menyebabkannya. Parahnya, mereka justru melalaikan dan membebankan pada dunia!” kata dokter.

“Entahlah. Perlu Dokter ketahui, belakangan ini saya mengalami banyak peristiwa menyedihkan. Sekarang saya telah bercerai dengan istri saya. Impian untuk menimang anak, kini telah hilang. Entah sampai kapan, saya harus menjalani masa sulit ini.”

Hati Abbas penuh teka-teki. Tak bisa menguraikan apa yang terjadi di balik peristiwa itu. Ia mesti memeras otak untuk mencari jawabannya. Kebingungan mendekap. Sinar matanya menyimpan banyak pertanyaan.

“Singkatnya begini, Dok. Kemarin malam, saya berniat mengajak istri saya kemari untuk menemui dokter agar saya bisa tenang. Tapi saya bingung, bagaimana harus menjelaskan padanya. Saya juga tak tahu bagaimana harus memulainya. Lalu dengan hati-hati, kudekati istri saya. Tiba-tiba istri saya gelisah. Saya mengira dia gelisah karena kegelisahan saya. Saya mengharap dialah yang memulai bertanya. Tapi ia tak melakukannya. Terpaksa sayalah yang memulai bertanya: ‘Apa kau tak punya keluhan? Barangkali sakit?’ Saya pura-pura tenang. Lalu dengan ragu-ragu, Istri saya menjawab: ‘Alhamdulillah, tidak’. Saya berbohong: ‘Kulihat akhir-akhir ini, wajahmu pucat dan sedikit berubah. Bagaimana kalau kita periksakan ke dokter?’ Istri saya justru marah dan menolak keras: ‘Tidak! Kau mengkhayal. Pokoknya tidak. Aku benci dokter. Aku ragu dan bosan mendengar nasihat mereka,” tutur Abbas.

“Semakin banyak saya menuntut, semakin keras istri saya menolak. Saya terus mendesaknya. Saya coba memohon dengan baik-baik, istri saya malah melawan dan bersikeras pada pendiriannya. Usaha saya sia-sia. Saya bingung, bagaimana saya harus meyakinkannya. Dada saya sesak. Hati saya dongkol. Rasanya sakit dan ingin marah. Karena saking suntuknya, saya berteriak keras. Otak saya tak kuasa lagi berpikir dengan jernih: ‘Ayo ikut aku ke dokter! Aku prihatin dan ingin tahu apa sebenarnya penyakit yang kau derita.’ Belum selesai saya bicara, istri saya bicara menantang bagai ular yang siap mematuk mangsanya. Matanya melotot, tak mampu kuasai diri. Tubuhnya menggigil. Saya bingung dibuatnya. Saya bertanya dalam hati: ‘Ada apa, Istriku?’ Saya coba mengulang pertanyaan dengan lembut, tapi istri saya memotong dengan gerakan aneh. Tubuhnya mengejang. Raut mukanya berubah aneh. Bengis. Saya semakin bingung dan bertanya-tanya: ‘Apa yang membuatmu takut, Istriku? Kenapa kau tak mau ke dokter?’ Istri saya justru berteriak lebih keras: ‘Tidak…! Tidak…!’ Saya bertambah marah. Tak ada kata ‘tidak’ dalam diri saya. Dengan murka, saya melangkah ke arahnya. Istri saya menjerit: ‘Ampun, Abbas! Ampun…! Rahasiaku telah terbongkar. Aku telah berbuat dosa! Pasti kau sudah tahu semuanya. Aku telah bersumpah pada Tuhan. Tolong! Jangan sentuh aku. Ceraikan saja aku!’ Tiba-tiba istri saya tersungkur di kaki saya kemudian pingsan,” lanjut Abbas.

“Apa maksud semua ini, Dok? Saya hanya menduga. Otak saya ragu. Kepala saya panas.Rambut saya berdiri mengeras seperti landak,” tambah Abbas.

Perempuan itu sungguh membuat repot suaminya. Tapi ia yakin bahwa dirinya tak melampui batas kewenangan. Pengakuan dosa, permintaan ampun dan pingsannya itu yang jelas hanya karena satu hal.

“Oh…saya telah berbuat dosa dan pantas mendapat hukuman. Saya telah ingkar, Dok. Karenanya, saya menjadi korban yang sia-sia! Adakah lelaki yang bernasib seperti saya, Dok?”

“Dosa telah memperdaya dan menjerat saya. Saya terjerumus dalam jurang yang curam. Bagaimana saya bisa melepaskan selimut tebal dosa ini? Bisakah saya tabah menghadapi cobaan ini? Bisakah saya kembali bersih dan sehat seperti dulu lagi, Dok?”

“Runtuh sudah bangunan rumah tangga saya. Musnah sudah bayangan hidup bersama buah hati saya. Padahal merekalah cahaya hidup saya yang senantiasa bersinar. Kini saya ingin pikiran saya terbuka. Perasaan tentram. Membuang semua kemarahan yang ada dalam diri saya. Saya ingin lepas dari belenggu perkawinan ini. Tuhan, bimbinglah jalan hidupku.***

Tinggalkan Jawapan

Masukkan butiran anda dibawah atau klik ikon untuk log masuk akaun:

WordPress.com Logo

Anda sedang menulis komen melalui akaun WordPress.com anda. Log Out /  Tukar )

Facebook photo

Anda sedang menulis komen melalui akaun Facebook anda. Log Out /  Tukar )

Connecting to %s

  • Temerloh punkrocker

    images
  • Menembus tembok silam Adios

%d bloggers like this: