Surat untuk Tuhan
Cerpen Gregorio Lopez y Fuentes
(Diindonesiakan oleh Saut Situmorang dari READER’S DIGEST GREAT SHORT STORIES OF THE WORLD)
Surat untuk Tuhan
Rumah itu – satu-satunya di lembah itu – terletak di
puncak sebuah bukit yang rendah. Dari situ nampak
sungai dan, setelah tempat kandang binatang, nampak
ladang jagung yang sudah matang diselang-selingi
bunga-bunga kacang yang menjanjikan musim panen yang
baik.
Hanya satu saja yang dibutuhkan ladang itu saat itu:
turunnya hujan, atau paling tidak gerimis. Sepanjang
pagi Amrozi, yang akrab dengan setiap lekuk ladangnya
itu, tak henti mengamati langit bagian timur laut.
“Hujan pasti akan segera turun sebentar lagi.”
Istrinya yang sedang menyiapkan makan malam menjawab:
“Ya, mudah-mudahan.”
Anak-anak laki-lakinya sedang kerja di ladang
sementara yang masih kecil-kecil bermain-main di dekat
rumah waktu perempuan itu memanggil mereka:
“Makan malam sudah siap…”
Waktu mereka sedang makan malam hujan lebat pun
turun, tepat seperti yang diramalkan Amrozi. Di langit
sebelah timur laut nampak awan-awan sebesar gunung
berarakan mendekat. Udara sejuk dan segar.
Amrozi beranjak ke luar rumah menuju kandang binatang
hanya untuk merasakan nikmat air hujan di tubuhnya,
dan waktu kembali ke dalam rumah dia berseru:
“Bukan air hujan yang sedang turun dari langit ini
tapi uang! Gumpalan-gumpalan air yang besar uang
limapuluh ribuan, dan yang kecil-kecil sepuluh
ribuan…”
Dengan wajah puas dipandanginya ladang jagungnya yang
penuh bunga kacang diselimuti tirai hujan.
Tapi tiba-tiba angin kencang berhembus dan bersama
hujan mulai turun pula batu-batu es yang besar-besar.
Batu-batu es itu kelihatan seperti uang perak benaran.
Anak-anak laki-lakinya menghambur ke luar rumah dan
mengutipi mutiara-mutiara beku itu.
“Hujan ini sudah mulai merusak sekarang!” teriak
Amrozi, cemas. “Semoga segera berhenti.”
Hujan tidak segera berhenti. Selama satu jam hujan
batu es itu turun menghajar rumah, kebun, bukit,
ladang jagung, seluruh daerah lembah. Ladang jadi
putih seperti ditutupi garam. Tak satu pun daun
tertinggal di ranting pohonan. Jagung semuanya rusak.
Bunga-bunga tanaman kacang musnah. Amrozi betul-betul
sedih. Setelah badai itu berlalu, dia berdiri di
tengah-tengah ladangnya dan berkata pada anak-anaknya:
“Wabah belalang pun masih menyisakan lebih daripada
ini… Hujan es telah merusak semuanya. Tahun ini kita
bakal tak punya jagung atau kacang…”
Malam itu adalah malam yang sangat menyedihkan.
“Semua kerja kita sia-sia.”
“Tak ada yang bisa menolong kita.”
“Kita akan kelaparan tahun ini…”
Tapi dalam hati mereka yang tinggal di rumah
terpencil di tengah lembah itu ada satu harapan yang
tinggal: pertolongan dari tuhan.
“Jangan terlalu bersedih walau semuanya ini seperti
sebuah kehilangan total. Ingat, tak ada yang mati
kelaparan!”
“Begitulah kata mereka: tak ada yang mati kelaparan.”
Sepanjang malam Amrozi hanya berpikir tentang
satu-satunya harapannya itu: pertolongan tuhan, yang
menurut apa yang diajarkan padanya melihat segalanya
termasuk apa yang ada dalam hati nurani manusia.
Amrozi adalah seorang pekerja keras, dan dia juga
tidak buta huruf. Hari Jumat berikutnya setelah
matahari terbit dan setelah berhasil meyakinkan
dirinya akan keberadaan suatu zat yang akan memberikan
pertolongan, Amrozi pun mulai menulis sepucuk surat
yang akan dibawanya sendiri ke kota untuk diposkan.
Surat itu tidak tanggung-tanggung ditujukannya kepada
TUHAN.
“Tuhan,” tulis Amrozi, “kalau Kau tidak menolong aku,
keluargaku dan aku akan kelaparan tahun ini. Aku perlu
satu juta rupiah untuk menanami ladangku kembali dan
untuk biaya hidup sampai panen tiba, karena badai
hujan es….”
Dia menulis “KEPADA TUHAN” di amplop, memasukkan
surat itu ke dalamnya dan, masih merasa sedih,
berangkat ke kota. Di kantor pos ditempelkannya
perangko dan dimasukkannya surat itu ke kotak surat.
Salah seorang pegawai kantor pos menemui atasannya
sambil ketawa geli dan menunjukkan surat untuk tuhan
itu. Belum pernah dalam sejarah karirnya sebagai
tukang pos dia mengalami hal seaneh ini. Kepala kantor
pos yang gemuk dan ramah itu juga terpingkal-pingkal
dibuatnya tapi tiba-tiba dia jadi serius dan sambil
meletakkan surat itu di atas meja, dia berkata:
“Betapa kuat imannya! Seandainya saja aku punya iman
seperti orang yang menulis surat ini. Seandainya saja
aku punya keyakinan sebesar keyakinannya ini. MENULIS
SURAT KEPADA TUHAN!!!”
Untuk tidak mengecewakan iman luar biasa yang
ditunjukkan sepucuk surat yang tak mungkin dikirimkan
itu, kepala kantor pos itu mendapat satu ide: balas
surat itu. Tapi waktu amplop surat dibukanya, ternyata
untuk membalasnya, maksud baik, tinta dan kertas
belaka tidaklah cukup. Tapi dia tetap pada
pendiriannya. Dia lalu minta sumbangan uang dari para
pegawainya dan dia sendiri menyumbangkan setengah dari
gajinya, sementara beberapa kawannya dengan sukarela
juga menambah “sumbangan kemanusiaan” itu.
Tapi tak mungkin untuk mengumpulkan uang sebanyak
satu juta rupiah, maka dia mengirimkan hanya sedikit
lebih daripada setengah yang dibutuhkan petani itu.
Dimasukkannya uang itu ke dalam amplop yang
dialamatkan kepada Amrozi dengan disertai secarik
kertas yang hanya bertuliskan satu kata sebagai tanda
tangan si pengirimnya: TUHAN.
Hari Jumat berikutnya Amrozi datang lebih cepat dari
biasanya ke kantor pos dan bertanya kalau ada surat
untuknya. Tukang pos itu sendiri yang menyerahkan
surat itu padanya sementara kepala kantor pos yang
merasa bahagia telah melakukan sebuah perbuatan mulia
mengintip dari pintu kantornya.
Amrozi sama sekali tidak menunjukkan rasa heran waktu
melihat uang dalam amplop itu – begitulah besarnya
imannya – tapi dia malah jadi marah setelah menghitung
jumlah uang tersebut… Tuhan pasti tidak membuat
kesalahan, atau menolak apa yang dimintanya!
Cepat-cepat Amrozi mendatangi loket dan minta kertas
dan tinta. Di meja yang khusus disediakan untuk umum
di kantor pos itu dia pun segera mulai menulis, sambil
mengerutkan keningnya karena berusaha keras untuk
mengutarakan isi pikirannya. Setelah selesai, dia
pergi membeli perangko di loket yang lalu dijilat dan
dilekatkannya ke amplop dengan pukulan tinjunya.
Begitu surat itu masuk ke dalam kotak surat, kepala
kantor pos segera mengambil dan membukanya. Beginilah
isinya:
“Tuhan, dari jumlah uang yang aku minta itu, hanya
tujuhratus ribu saja yang sampai ke tanganku.
Kirimkanlah sisanya karena aku betul-betul
membutuhkannya. Tapi jangan kirim uang itu lewat pos
karena para pegawai kantor pos bajingan semuanya.
Amrozi.”
Hahaha,
memang nama Amrozi tu sesuai sebenarnya.
Cerpen ni sebenarnya jadi inspirasi untuk filem Garin Nugraha tajuk
SURAT UNTUK BIDADARI,
Tapi aku tak suka sangat filem tu..
Pretty annoying for animal slaughter rituals.
cerpen ni sinis… tapi nama Amrozi tu mmg cukup cool utk diletakkan setara dengan bab keyakinan..
Hahaha
Aku pun terfikir juga mulanya..
Versi asal nama watak tu LENCHO tapi bila dah alihbahasa nama dia jadi AMROZI. Pelik.
Aku pun tak tahu kenapa dia tukar nama watak tu sekali.
Kasihan pegawai pos tu, walaupun berbuat baik. Tetap dipersalahkan juga. Tuhan tetap tak salah.
beberapa perkara yg bermain di otak aku ketika membaca cerita ini:
1. nama Amrozi + cerita dlm bahasa indonesia = mengingatkan aku pengeboman di bali
2.adakah gejala rasuah terlalu besar pengaruhnya sehinggakan pegawai kantor pos dipersalahkan
3.Amrozi ini terlalu kuat imannya atau gila sebenarnya?